Jumat, 11 Oktober 2013




BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. Seperti tertuang pada pasal 8 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB).Namun dalam kenyataan prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat sedikit. Serta pasal 5 ayat (2) juga disebutkan bahwa “Setiap warga yang memiliki kelainan fisik, mental, sosial, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.Dengan kata lain perkembangan manusia ada yang wajar atau normal dan ada pula yang perkembangannya terganggu (abnormal) yang akan berpengaruh terhadap mental dan jasmani. Sehingga dalam permasalahan pendidikan, tidak ada perbedaan antara anak yang normal perkembangan jasmani dan rohaninya, dengan anak yang mengalami kecacatan fisik, seperti anak yang mengalami kelemahan mental atau sering disebut Tunagrahita. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat kita yang mengabaikan potensi anak cacat. Pada umumnya masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu. Telah banyak bukti bahwa orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Pada hakikatnya kecacatan seseorang bukanlah merupakan penghalang untuk melakukan sesuatu.
Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelegensi, terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Selain itu, juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Oleh karena itu berdasarkan UU diatas setiap orang berhak atas pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka dalam hal ini penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana cara menangani anak tuna grahita?
2.  Upaya apa saja yang dilakukan pendidik dalam meningkatkan pembinaan penjas atau olahraga bagi anak tuna grahita?
1.3.   Tujuan atau Manfaat
2.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui upaya pembelajaran pembinaan penjas bagi anak cacat tuna grahita
b.      Untuk mengetahui tingkat kesulitan pembelajaran penjas atau olahraga bagi penyandang cacat tuna grahita
c.       Untuk mengetahui cara pemberian pembelajaran bagi penyandang cacat tuna grahita.
3.      Manfaat
a.       Menjadi sebuah masukan pengetahuan bagi kami yang sedang belajar di jurusan penjaskes.
b.      Sebagia masukan yang penting khususnya bagi penulis sendiri dan bagi khalayak umum.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.   Pembinaan Olahraga
Pembinaan olahraga atau penjas telah diatur dalam UU No 3 tentang Keolahragaan Nasional dalam pasal 1ayat 8 yaitu : pembinaan olahraga adalah orang yang memiliki minat dan pengetahuan, kepemimpinan, kemampuan manajerial dan pendanaan yang didedikasikan untuk pembinaan dan pengembangan olahraga. Dari hal tersebut bahwa pembinaan oleh seorang guru bagi anak harus benar-benar didedikasikan sepenuhnya bagi perkembangan si anak, tak terkecuali dengan ALB.
Perbedaaan penanganan pembinaan anak yang normal dan yang ALB sangatlah berbeda dalam pemberian materi maupun pembelajaran olahraga. Misalkan bagi anak tuna grahita dalam pemberian pembinaan pembelajaran penjas atau olahraga perlu kesabaran yang tinggi dan perlu penanganan secara terpadu serta adanya sutu pendekatan.
2.   2.2. Anak Cacat Tuna Grahita
Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tuna grahita biasa dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Tingkat kecerdasan secara umum bagi anak tuna grahita biasanya diukur lewat tes Intelegensi yang hasilnya disebut dengan IQ.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita
                  Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelegensi, terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Selain itu, juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Keterbatasan lain yang dimiliki anak tunagrahita yaitu kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,kurang dapat merespon dan menangkap suatu materi. Sehingga kurikulum yang digunakan tunagrahita adalah kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum pendidikan penjas adaptif dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas. Dengan ini, maka diharapkan mereka akan mendapatkan sejumlah pengalaman baru yang kelak dapat dikembangkan anak guna melengkapi bekal hidup. Mengingat kondisi peserta didik yang memiliki keterbatasan intelegensi dan juga keterbatasan lainnya, dan juga pentingnya pendidikan. Maka dari hal tersebut bahwa pentingnya pendidikan untuk anak tuna grahita termasuk  pendidikan motorik anak dalam olahraga, Serta yang perlu di perhatikan adalah karakteristiknya (Modul Depdiknas: 2007), seperti:
a.       Dalam belajar keterampilan membaca, keterampilan motorik, keterampilan lainnya adalah sama seperti anak normal pada umumnya.
b.      Perbedaan tuna grahita dalam mempelajari keterampilan terletak pada karakteristik belajarnya.
c.       Perbedaaan karakteristik belajar pada anak tuna grahita ada dalam tiga daerah yaitu;
1.      Tingkat kemahirannya dalam keterampilan tersebut.
2.      Generalisasi dan transfer keterampilan yang baru diperoleh.
3.      Perhatiannya terhadap tugas..
Adapun Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi,
1.Fisik (Penampilan)
Ø  Hampir sama dengan anak normal
Ø  Kematangan motorik lambat
Ø  Koordinasi gerak kurang
Ø  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2.Intelektual
Ø  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
Ø  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
Ø  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
Ø  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
3.Sosial dan Emosi
Ø  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
Ø  Suka menyendiri
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Kurang dinamis
Ø  Kurang pertimbangan/kontrol diri
Ø  Kurang konsentrasi
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

3.2.            Pendekatan Pembelajaran Penjas Adaptip Bagi Anak ALB
Penjas adaptif berperan penting dalam keberhasilan anak mengikuti proses pendidikan. Program Penjas adaptif memiliki cirri yang berbeda dengan pendidikan jasmani biasanya yaitu programnya disesuaikan dengan kelainan anak, programnya mengarah kepada perbaikan dan koreksi kelainan, dan programnya mengarah kepada pengembangan dan peningkatan jasmani individu siswa. Supaya program pengajaran atau pembinaandapat diikuti bagi anak ALB (tuna grahita)  maka perlu adanya modifikasi dalam setiap aspek pembelajaran. Adapun modifikasi program pembelajarannya secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Kurikulumnya baik secara perubahan total maupun perubahan sebagian dari kurikulum.
b.      Strategi belajarnya dapat dig anti atau di sesuaikan berdasarkan sutu kondisi dan sikon yang memungkinkan.
c.       Medianya (materi dan alat) yang digunakan di sesuaikan bagi anak tuna grahita.
d.      Pengaturan kelasnya, disini sangat penting karena perlunya suatu teknik mengajar yang sesuai dengan anak tuna grahita atau anak ALB lainnya
e.       Lingkungan atau sarana fisik yang dapat menunjang bagi pemberian suatu pembinaan penjas.
Adapun pendekatan  pengajaran bagi anak tuna grahita atau ALB lainya yaitu:
a.       Pengajaran klasikal diberikan kepada anak tuna grahita atau ALB lainnya yang memiliki tingkat akademis normal dan sama dalam satu kelas, sehingga kegiatan dan materinya sama dalam satu kelas.
b.      Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan orang-perorang dari anak ALB.
c.       Individualisasi pengajarannya adalah pendekatan dalam kelas akan tetapi setiap anak memiliki sutu program sesuai dengan tingkat pencapaian dalam belajar.
d.   Memberikan pembelajaran dengan metode inklusi.
3.3.            Pembelajaran Penjas Atau Olahraga Bagi Anak Tuna Grahita
Dalam penyelenggaraan program pendidikan jasmani hendaknya mencerminkan karakteristik program pendidikan jasmani itu sendiri, yaitu “ Developentally Appropriate Practice” (DAP). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong kearah perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat kematangan anak didik yang diajarnya. Perkembangan atau kematangan yang dimaksud mencakup fisik, psikis maupun keterampilannya.
Dengan pendidikan jasmani atau olahraga yang diadaptasi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan jenis kelainan dan tingkat kemampuan albmerupakan salah satu factor yang sangat menentukan dalam keberhasilan pendidikan olahraga atau penjas bagi anak yang berkelainan termasuk tuna grahita.  pendidikan jasmani adaftif merukpakan suatu system penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan pemecahan masalah bagi anak ALB. Adapun cirri dari program penjas adaptif antara lain:
a.       program penjas addaptif disesuaikan dengan jenis dan karakteristik kelainan siswa.
b.      Program pengajaran penjas adaptif harus dapat membantu dan mengkoreksi kelainan yang disandang oleh siswa.
c.       Program pengajaran penjas adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu.
Untuk pembinaan anak tuna grahita dalam penjas atau olahraga dapat dilihat dari hal di atas serta adanya suatu perombakan dalam program pembelajaran. Anak tuna grahita biasanya kurang cepat dalam menerima atau merespon dari apa yang dipelajarinya atau dilakukannya.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Pada dasaarnya anak tuna grahita itu sama dengan anak yang normal dalam segi motoriknya akan tetapi anak  tuna grahita atau disebut keterbelakangan mental memiliki kelambatan dalam belajar. Program penjas adaptif sangatlah membantu bagi anak tuna grahita dengan pengajaran yang tepat maka pendidikan olahraga akan mengenai sasarannya. Modifikasi kurikulum pendidikan penjas adaptif dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.
4.2. Saran
Anak tuna grahita bukan momok yang harus dikucilkan dalam pembelajaran penjas disekolah maupun temannya dan masyarakat bahkan mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih terkhusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak yang normal lainnya.
Sehingga diperlukan lembaga khusus yang menangani anak tuna laras. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2007. Diklat pembekalan guru kelas/ agama SD mata pelajaran penjas. Jawa barat
http//irfandedikpurnomo.files.wordpress.com/.../anak-tunagrahita-dan-karakteristiknya.doc

Tidak ada komentar: