Jumat, 11 Oktober 2013

Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Dalam sistem pendidikan nasional diadakan pengaturan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental.
Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus” Hak masing-masing warga negara untuk memperoleh pendidikan dapat diartikan sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Tentu saja kelainan yang disandang oleh peserta didik yang bersangkutan menuntut penyelenggaraan pendidikan sekolah yang lain dari pada penyelenggaraan pendidikan sekolah biasa. Oleh sebab itu, jenis pendidikan yang diadakan bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar Biasa.
Saat ini satu unit di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu Direktorat Pendidikan Luar Biasa memikul tanggung jawab atas pelayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang kelainan untuk tingkat nasional. Untuk tingkat daerah, unit yang bertanggung jawab atas Pendidikan Luar Biasa adalah Subdin PLB/Subdin yang menangani PLB pada Dinas Pendidikan Propinsi.
Lembaga Pendidikan Luar Biasa yang ada sekarang ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.
Ada beberapa jenis Sekolah Luar Biasa (SLB) yaitu Sekolah Luar Biasa bagian Tunanetra (SLB bagian A), Sekolah Luar Biasa bagian Tunarungu (SLB bagian B), Sekolah Luar Biasa bagian Tunagrahita (SLB bagian C), Sekolah Luar Biasa bagian Tunadaksa (SLB bagian D), Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras (SLB bagian E), dan Sekolah Luar Biasa bagian Tunaganda (SLB bagian G).
Agar para pembina, pelaksanana di lapangan dan organisasi sosial kemasyarakatan memiliki bekal dan persepsi yang sama tentang lembaga Pendidikan Luar Biasa, khususnya untuk Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras (SLB bagian E), maka perlu disusun informasi tentang Pelayanan Pendidikan bagi Anak Tunalaras.
Bentuk pelayanan pendidikan dapat diselenggarakan di SLB khusus bagi anak tunalaras (SLB-E). Berdasarkan data statistik tahun 2003 yang dikeluarkan Direktorat Pendidikan Luar Biasa menyebutkan bahwa jumlah anak tunalaras sebanyak 351 orang, dengan jumlah 12 (dua belas) Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras.
Berikut ini adalah beberapa landasan atau dasar-dasar hukum Indonesia yang melindungi anak-anak tuna laras untuk mendapatkan pengajaran yang layak pada satu wadah pendidikan:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
4. Peraturan Pemerinta No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
5. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Pendidikan Luar Biasa.
6. Keputusan Mendikbud No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.
7. Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa.
8. Keputusan Mendikbud No. 0126/U/1994 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa.
9. Keputusan Mendiknas No. 031/O/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Ada Departemen terkait yang memberikan pelayanan pendidikan bagian anak nakal yaitu Departemen Kehakiman dan Departemen Sosial. Pada umumnya Departemen Kehakiman menampung “anak negara” yaitu anak delinkwensi atas putusan pengadilan dicabut hak mendidik dari orang tuanya kemudian diambil oleh pemerintah. Mereka dipelihara sampai berumur 18 tahun sebagai batas ukuran dewasa.
Sedangkan Departemen Sosial memelihara mereka berdasar titipan dari orangtua, karena orangtua sudah merasa kewalahan. Atau hasil razia anak gelandangan atau terlantar yang sulit bila dikembalikan kepada orangtuanya karena keadaan tidak mampu atau sangat miskin.
Di dalam pelaksanaan penyelenggaraannya kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
b. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
c. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
d. Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan adalah usaha pemerataan dan perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Biasanya anak tunalaras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tunalaras ini berarti kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh berbaikan kepribadiannya.
Dengan adanya sekolah bagi anak tunalaras berarti membantu para orangtua anak yang sudah kewalahan mendidik puteranya, membantu para guru yang selalu diganggu apabila sedang mengajar dan mengamankan kawan-kawannya terhadap gangguan anak nakal.
Pengembangan pendidikan bagi anak tunalaras sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha Bimbingan Penyuluhan di sekolah reguler. Sehingga apabila anak itu tidak mengalami perbaikan dari usaha bimbingan dan penyuluhan dari kelas khusus maka mereka dikirim ke Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras. Cara mendasar pendidikan jasmani adaptif adalah sama dengan pendidikan jasmani biasa. Pendidikan jasmani merupakan salah satu aspek dari seluruh proses pendidikan secara keseluruhan.
Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan ABK memiliki problim dalam ranah psikomotor. Masalah psikomotor sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan sensomotorik, keterbatasan dalam kemampuan belajar. Sebagian ABK bermasalah dalam interaksi sosial dan tingkah laku. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan dan mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut, dalam hal ini adalah bagi mereka para penyandang tuna laras.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Arti pentingnya Pendidikan Jasmani bagi Tuna Laras
1.2.2 Pengertian Tuna Laras dan Ciri-ciri Khususnya
1.2.3 Program Pembelajaran Penjas bagi Tuna Laras
1.2.4 Saran yang dapa
1.3 Tujuan Pembahasan
1.3.1 Memahami akan arti pentingnya pendidikan jasmani bagi para tuna laras.
1.3.2 Mengetahui apakah tuna laras dan ciri-ciri yang menyertainya.
1.3.3 Memahami dan menyelenggarakan pembelajaran adaptif bagi anak-anak tuna laras.
Bab II
Tuna Laras dan Ciri-cirinya

2.1 Pengertian Tuna Laras
Bukan masalah yang sederhana untuk menentukan batasan mengenai anak yang mengalami gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tuna laras. Hingga kini belum ada suatu defenisi yang dapat diterima secara umum serta memuaskan semua pihak. Kenyataan batasan atau definisi yang telah dikemukakan oleh profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Namun demikian, hampir semua batasan yang dikemukakan oleh para ahli menganggap bahwa tuna laras menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah (Somantri, 2006).
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak
tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006).
Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006).Dari banyak pendapat menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anak tuna laras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya. Situasi belajar yang mereka hadapi secara monoton akan mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat (Somantri, 2006).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
a) Anak tunalaras, yang dimaksud disini adalah anak yang mengalami hambatan/kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
b) Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras, adalah suatu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus bagi anak tunalaras. Saat ini penyelenggara pendidikan anak tunalaras ialah Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kehakiman, Departemen Sosial, dan lembaga social atau yayasan.
c) Pendidikan Terpadu, adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus, termasuk tunalaras yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum umum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan. Adapun mata pelajaran yang tidak dapat dilaksanakan oleh anak yang memerlukan layanan khusus tersebut diganti dengan pelajaran lain yang dapat dilakukan oleh anak yang bersangkutan.
d) Kelas Khusus, adalah suatu bentuk pelayanan pendidikan bagi anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus, termasuk anak tunalaras melalui kelompok belajar di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum umum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan.
e) Guru Pembimbing Khusus/Guru Bantu, adalah guru khusus yang tertugas di sekolah umum untuk memberikan bimbingan dan pelayanan kepada anak tunalaras yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan dan sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah yang menyelenggarakan program Pendidikan Terpadu bagi anak tunalaras.
2.2 Ciri-ciri Anak Tuna Laras
Penggolongan anak tunalaras secara umum dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sbb :
1) Menurut jenis gangguan atau hambatan
a. Gangguan Emosi
Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekandan merasa cemas
Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada keadaan dalam dirinya. Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:
• Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya ketakutan yang kurang jelas obyeknya.
• Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak, dan sebagainya.
• Gugup nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan aneh. Gerakan pada mulut seperti meyedot jari, gigit jari dan menjulurkan lidah. Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung, mengusap-usap atau menghisutkan hidung. Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan atau mengepalkan jari. Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut, mencabuti atau mencakar rambut.
Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosok-menggosok, mengedip-ngedip mata dan mengrinyitkan muka, dan sebagainya.
• Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.
• Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak berfungsi.
• Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka kurang berang menghadapi kenyataan pergaulan.
7) Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum karena perasaan tertekan.
b. Gangguan Sosial
Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap bermusuhan, agresip, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.
Beberapa data tentang anak tunalaras dengan gangguan sosial antara lain adalah:
• Mereka datang dari keluarga pecah (broken home) atau yang sering kena marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
• Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
• Anak yang mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup antara kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
• Anak berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan pelajaran sekolah.
• Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam masyarakat.
• Dari keluarga miskin.
• Dari keluarga yang kurang harmonis sehingga hubungan kasih sayang dan batin umumnya bersifat perkara.
Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya anak delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tunalaras dengan gangguan karena social perbuatannya menimbulkan kegocangan ketidak bahagiaan/ketidak tentraman bagi masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri, menipu, menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak kecanduan narkotika, dan sebagainya.
2) Klasifikasi berat-ringannya kenakalan
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:
a. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
b. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
c. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.
d. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
e. Mudah sukarnya dipengaruhi untk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
f. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.
Maka kriteria ini dapat menjadi pedoman pelaksanaan penetapan berat-ringan kenakalan untuk dipisah dalam pendidikannya.
Ciri-ciri Anak Tuna Laras Berdasarkan Hasil Observasi
Lokasi Pengamatan : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar
Kelas : 5
Jumlah Siswa : 4 anak
Jumlah Pengamat : 7 orang
  1. Siswa : A
Ciri-ciri social :
    1. Pemalu, kurangnya adaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
    2. Tidak mudah berkomunikasi dengan orang lain
  1. Minder
Ciri-ciri mental :
  1. Kecerdasan seperti layaknya anak normal, berdasarkan hasil tes IQ yang diselenggarakan oleh SDLB lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar.
  2. Lekas marah apabila diganggu.
  3. Emosi terkesan labil.
Ciri-ciri Fisik :
  1. Normal tanpa ada cacat.
  2. Kecenderungan menggunakan tangan kiri (kidal)
  3. Kurang kemauan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan olahraga.
Catatan :
Dapat diamati bahwa anak yang berkarakter di atas akan sangat sulit beradaptasi denagn lingkungannya. Berdasarkan observasi yang kami lakukan bahwa anak ini berasal dari keluarga kurang mampu dan mengalami trauma masa kecil. Ini menyebabkan kecenderungan untuk selalu berdiam diri tanpa memerlukan bantuan temannya. Untuk itulah kami melakukan berbagai pendekatan dan berinisiatif untuk membuat sebuah aktivitas olahraga berupa permainan-permainan yang menyenangkan dan membutuhkan kerjasama dengan orang lain sehingga dimaksudkan agar dia berkemauan bergerak dan mau bekerjasama dengan teman-temannya dan membuat dia terbiasa berkomunikasi dengan orang lain.

2. Siswa : B
Ciri-ciri social :
  1. Mudah bergaul dengan orang lain bahkan dengan orang yang baru dia kenal.
  2. Senang menyakiti teman-temannya.
  3. Keras kepala dan sangat sulit diatur.
  4. Selalu berobsesi jadi pemimpin.
Ciri-ciri mental :
  1. Kecerdasan seperti layaknya anak normal, berdasarkan hasil tes IQ yang diselenggarakan oleh SDLB lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar dan mudah menerima pelajaran. Bahkan anak ini bias dikatakan berprestasi karena sering mengikuti lomba Mata Pelajaran.
  2. Sering marah-marah tanpa sebab.
  3. Emosi terkesan labil.
Ciri-ciri Fisik :
  1. Normal tanpa ada cacat.
  2. Menunjukkan gerak motorik yang baik.
  3. Sangat aktif mengikuti kegiatan olahraga.
Catatan :
Dapat diamati bahwa anak yang berkarakter mudah beradaptasi dengan lingkungannya namun akan sangat menganggu teman yang lainnya apbial emosinya terkesan sulit dikontrol. Menurut wali kelas yang selama ini membimbingnya bahwa anak ini berasal dari keluarga broken home dan dibesarkan tanpa bimbingan dari orang tuanya sehingga dia sangat sulit diatur dan selalu semaunya sendiri. Untuk itulah kami melakukan berbagai pendekatan individual dan menyiasati untuk melakukan suatu kegiatan olahraga yang dapat membuatnya bias menerima adanya orang lain dan dapat berkomunikasi dengan yang lainnya. Permainan-permainan yang membutuhkan kerjasama tim sangat tepat untuk diterapkan pada anak berkarakter seperti di atas.


3. Siswa : C
Ciri-ciri social :
  1. Sangat sulit berkomunikasi dengan orang lain apalagi dengan mereka yang baru pertama kali dia temui.
  2. Lebih senang menggambarkan suasana hatinya lewat sesuatu perbuatan, misalnya sering merusak barang milik temannya, memukul-mukul meja, dll.
Ciri-ciri mental :
  1. Kecerdasan seperti layaknya anak normal, berdasarkan hasil tes IQ yang diselenggarakan oleh SDLB lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar.
  2. Sering marah-marah tanpa sebab dan menlampiaskan pada teman-temannya.
  3. Emosi terkesan labil dan mudah iri dengan orang lain.
Ciri-ciri Fisik :
  1. Normal tanpa ada cacat.
  2. Menunjukkan gerak motorik yang baik.
  3. Sangat aktif mengikuti kegiatan olahraga namun sangat sulit diatur.
Catatan :
Pada dasarnya seperti inilah cirri-ciri umun yang ditunjukkan oleh anak tuna laras. Adanya beberapa gangguan social yang menyebabkan emisinya terkesan labil. Ada beberapa hal yang menyebabkan anak ini menjadi temperamental, salah satunya dari kecil dia hanya diasuh oleh ayahnya yang notabene seorang burona pihak kepolisian dan secara tidak langsung sifat itu menurun kepada anaknya.
Untuk itulah kami membuat berbagai aktivitas olahraga agar dia mau dan mampu bekerja sama dengan siswa yang lainnya serta lebih bias mengontrol emasinya dengan permainan yang sedikit menguji kesabaran.




  1. Siswa : D
Ciri-ciri social :
  1. Sangat pemalu.
  2. Tidak mudah berkomunikasi dengan orang lain
  3. Kecenderungan sering menangis tanpa sebab.
  4. Sering melamun sehingga tidak mudah berkomunikasi verbal dengannya.
Ciri-ciri mental :
  1. Kecerdasan agak beada di bawah rata-rata anak normal sehingga sulit menerima pelajaran, berdasarkan hasil tes IQ yang diselenggarakan oleh SDLB lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar.
  2. Pemarah tanpa sebab.
  3. Emosi terkesan labil.
Ciri-ciri Fisik :
  1. Normal tanpa ada cacat sedikitpun sehingga bisa melakukan berbagai aktivitas layaknya anak normal yang lainnya.
Catatan :
Seperti anak-anak yang lainnya, anak ini mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan sulit menerima keberadaan orang lain. Hal ini disebabkan dia sering dikucilkan dari pergaulan dari sejak kecil karena dia tidak memiliki orang tua dan berasal dari keluarga tidak mampu.

BAB III
PEMBUATAN RENCANA PEMBELAJARAN
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
SD/Mi : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak-Blitar
Mata pelajaran : Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.
Kelompok : Tuna Laras
Standar Kompetensi : Melakukan Permainan Hijau-Hitam
Kompetensi Dasar : Mempraktekkan permainan hijau-Hitam sesuai dengan peraturan pada sebuah kelompok.
Indikator :Merespon aba-aba ”Hijau” atau ”Hitam”
Alokasi Waktu : 5 – 10 menit
A. Tujuan
Siswa dapat mempraktikkan permainan hijau-hitam sesuai aba-aba, bertujuan untuk melatih respon dan gerak lokomotor anak.
B.Materi Pembelajaran
Permainan Hijau-Hitam dilakukan menurut perintah atau aba-aba.
C.Metode Pembelajaran
- Inclusive
- Belajar tuntas
- Reciprocal
D.Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
- Berbaris dan berdoa
- Menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan.
- Melakukan permainan Hijau-Hitam
- Penutup berupa do’a kemudian bubar barisan.
E.Tempat Kegiatan
- Lapangan basket


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

SD/Mi : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Kota Blitar
Mata pelajaran : Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.
Kelompok : Tuna Laras
Standar Kompetensi : Mempraktekkan permainan basket dengan Chest-pass dan bounce-pass
Kompetensi Dasar : Mempraktekkan Chest-pass dan Bounce-pass
Indikator : Melakukan chest-pass dan Bounce-pass bepasangan secara bergantian
Alokasi Waktu : 10-15menit
A. Tujuan
Siswa dapat mempraktikkan bagaimana cara melakukan chect-pass dan bounce-pass serta melatih koordinasi otak.
B.Materi Pembelajaran
Passing Bola Basket
- Melakukan Chect-pass dan Bounce-pass berpasangan dan dilakukan bersama-sama, dimana masing-masing anak memegang satu bola kemudian secara bersama-sama satu anak melakukan chest-pass diumpan kepada temannya dan anak yang lain melakukan bounce-pass. Kegiatan ini dilakukan terus-menerus.
C.Metode Pembelajaran
- Inclusive
- Belajar tuntas.
- Reciprocal
D.Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
- Berbaris, berdoa, dan pemanasan
- Menjelaskan apa yang akan dilaksanakan dan bagaimana aturannya.
- Mempraktikkan Chest-pass dan Bounce-pass berpasangan secara bersama-sama.
- Mengevaluasi kegiatan.
- Pendinginan, berdoa dan bubar barisan.
E.Sarana Belajar
- Lapangan Basket.
- Bola basket























Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

SD/Mi : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar
Mata pelajaran : Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
Kelompok : Tuna Laras
Standar Kompetensi : Melakukan sikap kapal terbang.
Kompetensi Dasar : Melakukan sikap kapal terbang dengan benar.
Indikator : Sikap kapal terbang yang benar
Alokasi Waktu : 5-10menit

A. Tujuan
Siswa dapat melakukan sikap kapal terbang dengan benar dan untuk melatih gerak non-lokomotor anak.
B.Materi Pembelajaran
Berlatih untuk melakukan sikap kapal terbang yang baik dan benar.
C.Metode Pembelajaran
- Inclusive
- Belajar tuntas
- Reciprocal
D.Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
- Berbaris, berdoa, dan warming-up.
- Menjelaskan kegiatan olahraga yang akan dilakukan dan cara melakukan yang benar.
- Melakukan sikap kapal terbang secara bergantian.
- Mengevaluasi kegiatan dan menjelaskan apa manfaatnya bagi anak.
- Pendinginan, berdoa kemudian.
E.Sarana Belajar
- Ruang Kelas
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
SD/Mi : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar.
Mata pelajaran : Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
Kelompok : Tuna Laras
Standar Kompetensi : Melakukan aktifitas fiasik.
Kompetensi Dasar : Melakukan gerak melompat atau meloncat sesuai instruksi pada kolom angka yang telah disediakan.
Indikator : Melakukan lompatan atau loncatan sesuai aba-aba yang diberikan.
Alokasi Waktu : 5-10 menit
A. Tujuan
Siswa melakukan gerakan melompat ataupun meloncat serta melatih koordinasi otak anak.
B.Materi Pembelajaran
Siswa melakukan lompatan atau loncatan sesuai aba-aba yang diberikan pada papan angka yang telah disediakan.

9 10

8 7 6 5

4 3 2
1







C.Metode Pembelajaran
- Inclusive.
- Belajar tuntas.
- Reciprocal
D.Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
- Berbaris, berdoa, dan pemanasan
- Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan pada hari itu
- Melakukan gerakan me.lompat atau moloncat pada papan angka yang disediakan.
- Pendinginan, berdoa dan bubar.
E.Sumber Belajar
- Ruang kelas atau halaman.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

SD/Mi : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar.
Mata pelajaran : Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
Kelompok : Tuna Laras
Standar Kompetensi : Melakukan aktifitas jasmani.
Kompetensi Dasar : Melakukan permainan bintang beralih.
Indikator : Bermain bintang beralih.
Alokasi Waktu : 10-15menit
A. Tujuan
Siswa melakukan permainan bintang beralih untuk melatih aktifitas fisik siswa dan kelincahan anak.
B.Materi Pembelajaran
Permainan Bintang beralih.
Anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian salah satu dari mereka manjadi pengejar dan salah satu yang lainnya menjadi bintang yang bepalih/ berlari dari kelompok satu ke kelompok yang lainnya.
C.Metode Pembelajaran
- Inclusive
- Belajar tuntas
- Reciprocal
D.Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
- Berbaris, berdoa, dan pemanasan (stretching dan kalestenik)
- Menjelaskan permainan yang akan dilakukan.
- Melakukan permainan bintang beralih
- Pendinginan, berdoa dan bubar.
E.Sarana Belajar
- Lapangan basket
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

SD/Mi : SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar
Mata pelajaran : Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
Kelompok : Tuna Laras
Standar Kompetensi : Melakukan aktifitas fisik.
Kompetensi Dasar :Melakukan permainan melempar bola dengan posisi berjongkok untuk saling berebut untuk dimasukkan pada keranjang lawan
Indikator : Melempar bola dengan posisi berjongkok dan saling berebut bola.
Alokasi Waktu : 15 – 20 menit
A. Tujuan
Siswa dapat melakukan permainan melempar bola dengan posisi badan jongkok dan saling berebut dalam tiap tim untuk melatih kekompakan dan kerja sama antar anak.
B.Materi Pembelajaran
Melempar bola setinggi dada dengan posisi badan berjongkok, anak-anak dibagi menjadi 2 tim yang masing-masing tim akan saling berebut bola untuk dapat dimasukkan pada keranjang lawan. Tim yang paling banyak memasukkan bola ke keranjang maka yim tersebut pemenangnya.
C.Metode Pembelajaran
- Inclusive
- Belajar tuntas
- Reciprocal
D.Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
- Berbaris, berdoa, dan pemanasan
- Menjelaskan permainan yang akan dilakukan dan aturan-aturan yang berlaku.
- Melakukan permainan melempar bola dengan posisi badan berjongkok.
- Pendinginan, berdoa dan kemudian barisan dibubarkan.
E.Sumber Belajar
- Ruang Aula
- Bola plastik
- Keranjang sampah Plastik

  • Keberhasilan Program Pembelajaran Penjas
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan pada SDLB Lembaga Pemasyarakatan Anak Kota Blitar yang kami fokuskan pada anak kelas 5 yang berjumlah 4 anak, kami telah mencatat bagaimana keadaan dari masing-masing siswa dalam kelompok yang kami amati. Dan berawal dari situlah kami merancang dan membuat program yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan fisik mereka. Program yang kami buat berhubungan langsung dengan aktivitas fisik berupa permainan “hijau-hitam”, bintang beralih, Chest-pass dan Bounce-pass boal basket, meloncat atau melompat, melakukan sikap kapal terbang dan permainan bola denagn cara saling melempar untuk saling berebut. Program yang kami buat dan telah kami lakukan ini dapat dikatakan berhasil karena semua anak yang mengikuti kegiatan pendidikan jasmani merasa senang, sibuk dan berkeringat.
Namun dalam pelaksanaan program yang telah kami berikan pada siswa ada yang kurang berhasil yaitu permainan melempar bola. Karena adanya gangguan emosi yang menyertai anak tuna laras menyebabkan mereka sulit mengontrol emosi mereka sehingga ketika dalam permainan tersebut mereka sulit mengotrol emosi dan melekukan banyak kecurangan dan mencurangi teman mereka sendiri.
Bab IV
Penutup
4.1 Kesimpulan
Tujuan diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu anak didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan selanjutnya.
Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan ABK memiliki problim dalam ranah psikomotor.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan dan mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut, dalam hal ini adalah bagi mereka para penyandang tuna laras.
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak
tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Sehingga dibutuhkan pembelajaran pendidikan jasmani khusus yang harus diterapkan pada mereka para tuna laras.
4.2 Saran
Anak tuna laras bukan momok yang harus dikucilkan dalam masyarakat bahkan mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih terkhusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak yang normal lainnya. Sehingga diperlukan lembaga khusus yang menangani anak tuna laras. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.



























Daftar Pustaka
Arma Abdoellah, Prof.,M.sc., (1996): Pendidikan Jasmani Adaptif, Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta
Bucher, C.A., (1985): Foundations of physical Education and Sport, St.LOUIS: The CV. Mosby Company.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. Seperti tertuang pada pasal 8 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB).Namun dalam kenyataan prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat sedikit. Serta pasal 5 ayat (2) juga disebutkan bahwa “Setiap warga yang memiliki kelainan fisik, mental, sosial, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.Dengan kata lain perkembangan manusia ada yang wajar atau normal dan ada pula yang perkembangannya terganggu (abnormal) yang akan berpengaruh terhadap mental dan jasmani. Sehingga dalam permasalahan pendidikan, tidak ada perbedaan antara anak yang normal perkembangan jasmani dan rohaninya, dengan anak yang mengalami kecacatan fisik, seperti anak yang mengalami kelemahan mental atau sering disebut Tunagrahita. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat kita yang mengabaikan potensi anak cacat. Pada umumnya masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu. Telah banyak bukti bahwa orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Pada hakikatnya kecacatan seseorang bukanlah merupakan penghalang untuk melakukan sesuatu.
Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelegensi, terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Selain itu, juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Oleh karena itu berdasarkan UU diatas setiap orang berhak atas pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka dalam hal ini penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana cara menangani anak tuna grahita?
2.  Upaya apa saja yang dilakukan pendidik dalam meningkatkan pembinaan penjas atau olahraga bagi anak tuna grahita?
1.3.   Tujuan atau Manfaat
2.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui upaya pembelajaran pembinaan penjas bagi anak cacat tuna grahita
b.      Untuk mengetahui tingkat kesulitan pembelajaran penjas atau olahraga bagi penyandang cacat tuna grahita
c.       Untuk mengetahui cara pemberian pembelajaran bagi penyandang cacat tuna grahita.
3.      Manfaat
a.       Menjadi sebuah masukan pengetahuan bagi kami yang sedang belajar di jurusan penjaskes.
b.      Sebagia masukan yang penting khususnya bagi penulis sendiri dan bagi khalayak umum.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.   Pembinaan Olahraga
Pembinaan olahraga atau penjas telah diatur dalam UU No 3 tentang Keolahragaan Nasional dalam pasal 1ayat 8 yaitu : pembinaan olahraga adalah orang yang memiliki minat dan pengetahuan, kepemimpinan, kemampuan manajerial dan pendanaan yang didedikasikan untuk pembinaan dan pengembangan olahraga. Dari hal tersebut bahwa pembinaan oleh seorang guru bagi anak harus benar-benar didedikasikan sepenuhnya bagi perkembangan si anak, tak terkecuali dengan ALB.
Perbedaaan penanganan pembinaan anak yang normal dan yang ALB sangatlah berbeda dalam pemberian materi maupun pembelajaran olahraga. Misalkan bagi anak tuna grahita dalam pemberian pembinaan pembelajaran penjas atau olahraga perlu kesabaran yang tinggi dan perlu penanganan secara terpadu serta adanya sutu pendekatan.
2.   2.2. Anak Cacat Tuna Grahita
Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tuna grahita biasa dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Tingkat kecerdasan secara umum bagi anak tuna grahita biasanya diukur lewat tes Intelegensi yang hasilnya disebut dengan IQ.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita
                  Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelegensi, terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Selain itu, juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Keterbatasan lain yang dimiliki anak tunagrahita yaitu kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,kurang dapat merespon dan menangkap suatu materi. Sehingga kurikulum yang digunakan tunagrahita adalah kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum pendidikan penjas adaptif dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas. Dengan ini, maka diharapkan mereka akan mendapatkan sejumlah pengalaman baru yang kelak dapat dikembangkan anak guna melengkapi bekal hidup. Mengingat kondisi peserta didik yang memiliki keterbatasan intelegensi dan juga keterbatasan lainnya, dan juga pentingnya pendidikan. Maka dari hal tersebut bahwa pentingnya pendidikan untuk anak tuna grahita termasuk  pendidikan motorik anak dalam olahraga, Serta yang perlu di perhatikan adalah karakteristiknya (Modul Depdiknas: 2007), seperti:
a.       Dalam belajar keterampilan membaca, keterampilan motorik, keterampilan lainnya adalah sama seperti anak normal pada umumnya.
b.      Perbedaan tuna grahita dalam mempelajari keterampilan terletak pada karakteristik belajarnya.
c.       Perbedaaan karakteristik belajar pada anak tuna grahita ada dalam tiga daerah yaitu;
1.      Tingkat kemahirannya dalam keterampilan tersebut.
2.      Generalisasi dan transfer keterampilan yang baru diperoleh.
3.      Perhatiannya terhadap tugas..
Adapun Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi,
1.Fisik (Penampilan)
Ø  Hampir sama dengan anak normal
Ø  Kematangan motorik lambat
Ø  Koordinasi gerak kurang
Ø  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2.Intelektual
Ø  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
Ø  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
Ø  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
Ø  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
3.Sosial dan Emosi
Ø  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
Ø  Suka menyendiri
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Kurang dinamis
Ø  Kurang pertimbangan/kontrol diri
Ø  Kurang konsentrasi
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

3.2.            Pendekatan Pembelajaran Penjas Adaptip Bagi Anak ALB
Penjas adaptif berperan penting dalam keberhasilan anak mengikuti proses pendidikan. Program Penjas adaptif memiliki cirri yang berbeda dengan pendidikan jasmani biasanya yaitu programnya disesuaikan dengan kelainan anak, programnya mengarah kepada perbaikan dan koreksi kelainan, dan programnya mengarah kepada pengembangan dan peningkatan jasmani individu siswa. Supaya program pengajaran atau pembinaandapat diikuti bagi anak ALB (tuna grahita)  maka perlu adanya modifikasi dalam setiap aspek pembelajaran. Adapun modifikasi program pembelajarannya secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Kurikulumnya baik secara perubahan total maupun perubahan sebagian dari kurikulum.
b.      Strategi belajarnya dapat dig anti atau di sesuaikan berdasarkan sutu kondisi dan sikon yang memungkinkan.
c.       Medianya (materi dan alat) yang digunakan di sesuaikan bagi anak tuna grahita.
d.      Pengaturan kelasnya, disini sangat penting karena perlunya suatu teknik mengajar yang sesuai dengan anak tuna grahita atau anak ALB lainnya
e.       Lingkungan atau sarana fisik yang dapat menunjang bagi pemberian suatu pembinaan penjas.
Adapun pendekatan  pengajaran bagi anak tuna grahita atau ALB lainya yaitu:
a.       Pengajaran klasikal diberikan kepada anak tuna grahita atau ALB lainnya yang memiliki tingkat akademis normal dan sama dalam satu kelas, sehingga kegiatan dan materinya sama dalam satu kelas.
b.      Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan orang-perorang dari anak ALB.
c.       Individualisasi pengajarannya adalah pendekatan dalam kelas akan tetapi setiap anak memiliki sutu program sesuai dengan tingkat pencapaian dalam belajar.
d.   Memberikan pembelajaran dengan metode inklusi.
3.3.            Pembelajaran Penjas Atau Olahraga Bagi Anak Tuna Grahita
Dalam penyelenggaraan program pendidikan jasmani hendaknya mencerminkan karakteristik program pendidikan jasmani itu sendiri, yaitu “ Developentally Appropriate Practice” (DAP). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong kearah perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat kematangan anak didik yang diajarnya. Perkembangan atau kematangan yang dimaksud mencakup fisik, psikis maupun keterampilannya.
Dengan pendidikan jasmani atau olahraga yang diadaptasi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan jenis kelainan dan tingkat kemampuan albmerupakan salah satu factor yang sangat menentukan dalam keberhasilan pendidikan olahraga atau penjas bagi anak yang berkelainan termasuk tuna grahita.  pendidikan jasmani adaftif merukpakan suatu system penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan pemecahan masalah bagi anak ALB. Adapun cirri dari program penjas adaptif antara lain:
a.       program penjas addaptif disesuaikan dengan jenis dan karakteristik kelainan siswa.
b.      Program pengajaran penjas adaptif harus dapat membantu dan mengkoreksi kelainan yang disandang oleh siswa.
c.       Program pengajaran penjas adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu.
Untuk pembinaan anak tuna grahita dalam penjas atau olahraga dapat dilihat dari hal di atas serta adanya suatu perombakan dalam program pembelajaran. Anak tuna grahita biasanya kurang cepat dalam menerima atau merespon dari apa yang dipelajarinya atau dilakukannya.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Pada dasaarnya anak tuna grahita itu sama dengan anak yang normal dalam segi motoriknya akan tetapi anak  tuna grahita atau disebut keterbelakangan mental memiliki kelambatan dalam belajar. Program penjas adaptif sangatlah membantu bagi anak tuna grahita dengan pengajaran yang tepat maka pendidikan olahraga akan mengenai sasarannya. Modifikasi kurikulum pendidikan penjas adaptif dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.
4.2. Saran
Anak tuna grahita bukan momok yang harus dikucilkan dalam pembelajaran penjas disekolah maupun temannya dan masyarakat bahkan mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih terkhusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak yang normal lainnya.
Sehingga diperlukan lembaga khusus yang menangani anak tuna laras. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2007. Diklat pembekalan guru kelas/ agama SD mata pelajaran penjas. Jawa barat
http//irfandedikpurnomo.files.wordpress.com/.../anak-tunagrahita-dan-karakteristiknya.doc